Tampilkan postingan dengan label Kesehatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kesehatan. Tampilkan semua postingan

90% Wanita Indonesia bergejala osteoporosis

Pdpersi, Jakarta - Osteoporosis atau pengeroposan tulang menjadi masalah kesehatan sebagai konsekuensi dari naiknya angka harapan hidup dan gaya hidup yang tidak sehat. Upaya pencegahannya bagi masyarakat Indonesia harus dimulai sejak usia muda. Hal itu bisa dimulai dari yang sederhana, seperti menjaga postur tubuh tetap tegak.

Cara-cara yang lain untuk menjaga tulang tetap kuat yakni dengan memenuhi kebutuhan kalsium harian dan nutrisi tulang, menghindari faktor risiko gaya hidup yang tidak sehat, latihan fisik yang baik, benar, teratur serta terukur, terutama dengan latihan beban.

Tekad yang kuat untuk mencegah osteoporosis harus berlanjut dengan tindakan mengingat data berikut ini: menurut Perhimpunan Osteoporosis Indonesia (Perosi), sebanyak 41,8% lelaki dan 90% perempuan dari total penduduk di Indonesia memiliki gejala osteoporosis. Sedangkan 28,8% lelaki dan 32,3% perempuan sudah mengalami osteoporosis.

“Prevalensi pada perempuan lebih tinggi karena sebagian besar perempuan di Indonesia kekurangan 50% kebutuhan kalsium harian,” kata dr Tanya TM Rotikan, wakil ketua II Perosi dalam konferensi pers kampanye Hari Osteoporosis Nasional 2010, dengan tema ‘Tegakkan Tubuhmu, Cegah Osteoporosis’ yang diselenggarakan PT. Fonterra Brands Indonesia (Fonterra) di Jakarta, kemarin.

Osteoporosis dinilai sebagai masalah yang sangat serius di Indonesia. “Setiap orang memiliki risiko tinggi terkena osteoporosis,” kata Heru Kuntjoro, direktur pemasaran Fonterra.

Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Gizi dan Makanan Kementrian Kesehatan (Kemenkes) memiliki hasil analisis mengenai data risiko osteoporosis. Penelitian dilakukan bekerja sama dengan Fonterra dan sudah dipublikasikan pada 2006. Hasilnya adalah di 16 wilayah di Indonesia sebanyak dua dari lima penduduk memiliki risiko terkena osteoporosis.

Pemahaman bahwa masa pertumbuhan dan perkembangan tulang akan berhenti pada usia 30 tahun perlu ditekankan sejak dini. Sebab setelah itu massa tulang akan menurun secara alamiah.

”Sangat penting untuk menabung dan memenuhi kebutuhan kalsium harian pada masa pertumbuhan, yaitu sejak usia bayi dan masa kanak-kanak hingga dewasa,” ujar dr Tanya.

Menghindari risiko osteoporosis dapat dilakukan dengan menjalani gaya hidup sehat, mengonsumsi nutrisi yang mengandung kalsium, menghindari kafein dan sodium berlebihan, tidak merokok, tidak minum minuman beralhokol, melakukan aktivitas fisik yang cukup, serta mendapat paparan sinar matahari yang cukup.

Selain itu, pencegahan osteoporosis bisa dilakukan dengan hal sederhana, yaitu menjaga postur tubuh yang baik. Hal ini penting supaya penderita dapat melakukan aktivitas secara mandiri semaksimal mungkin. Di luar diri sendiri ada upaya rehabilitatif dan pendekatan berbagai disiplin ilmu, yang bertujuan agar penderita memeroleh kualitas hidup yang optimal.

Jenis yang paling umum dari osteoporosis, ujar dr Tanya, adalah patah tulang belakang. Saat ini diperkirakan sedikitnya setengah dari semua kasus patah tulang belakang tidak mendapatkan perhatian secara klinis dan pengobatan.

”Meski banyak kasus patah tulang belakang yang menyebabkan cacat dan nyeri, hal tersebut kerap diabaikan atau salah diagnosis sebagai nyeri punggung karena ketegangan otot,” jelas dr Tanya.

Menurut dia, patah tulang belakang ditandai postur tubuh yang membungkuk, nyeri tulang, dan tubuh semakin pendek. Hal ini dapat terjadi karena tulang merupakan organ yang dinamis.

Pembaruan tulang dimulai dengan proses pengeroposan tulang (sel osteoclast) di tempat pengeroposan tulang, dilanjutkan dengan mineralisasi sehingga tulang keropos diganti oleh tulang baru yang kuat. Remodelling atau proses pengeroposan dan pembaruan tulang itu berjalan seimbang.

Dr Tanya juga menjelaskan bahwa bahwa diagnosis osteoporosis dilakukan dengan pemeriksaan klinis yang cermat. Hal tersebut ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium, radiologi, dan densinometri untuk mendeteksi adanya osteoporosis dini. Penderita osteoporosis dapat diobati dan dicegah kemungkinan timbulnya patah tulang.

Klasifikasi osteoporosis, lanjut dia, terdiri atas osteoporosis primer yang meliputi dua tipe. Pertama adalah osteoporosis pada perempuan pascamenopause, dan tipe dua adalah osteoporosis senil atau penuaan. Sedangkan osteoporosis sekunder merupakan osteoporosis akibat penyakit, efek samping obat, atau kondisi yang mengakibatkan kelainan tulang.

Bahaya penyalahgunaan antibiotik

Tidak semua orang tahu bahwa antibiotik tidak boleh dikonsumsi sembarangan. Tak semua orang tahu bahwa bila hal itu dilakukan, akibatnya justru fatal, apalagi hanya untuk penyakit-penyakit ringan. Ibaratnya, ingin membunuh satu orang mestinya cukup dengan pistol, tapi digunakan bom yang bisa menghancurkan penduduk satu kota. Selain tidak tepat penggunaan, dampak yang lebih jauh adalah bakteri dalam tubuh justru menjadi kebal.

Pengamalan Veronika mungkin bisa jadi pelajaran. Perempuan 30 tahun itu suatu ketika menderita penyakit infeksi saluran pencernaan. Oleh dokter, dia diberi antibiotik. Dua minggu kemudian, kondisi Veronika berangsur membaik.

Satu bulan kemudian, penyakitnya kambuh. Namun, dia enggan periksa ke dokter. Dia pun memutuskan membeli antibiotik yang sama dengan resep yang diberikan dokter sebulan sebelumnya. "Penyakitnya sama. Jadi, saya pikir obatnya juga sama," ujarnya.

Bukan sembuh, perut Veronika justru semakin sakit dan mual. Setelah dua hari tidak kunjung membaik, akhirnya dia memutuskan pergi ke dokter. Benar saja, antibiotik yang diminumnya tidak sesuai untuk pengobatan penyakitnya yang sekarang. "Kata dokter, bila penyakit saya sembuh dan kambuh lagi, bukan berarti obatnya harus sama," ujar wanita yang bekerja di sebuah perusahaan asuransi itu.

Mungkin saja, pengalaman Veronika pernah terjadi pada yang lain. Sebab, masyarakat kerap tidak menyadari bahwa antibiotik tidak boleh digunakan secara sembarangan. Sedikit kena penyakit flu, minum antibiotik. Kena demam dihantam dengan antibiotik. Gatal-gatal diberi antibiotik. Sakit kepala juga ditangkal dengan antibiotik.

"Padahal, tidak semua penyakit membutuhkan antibiotik. Antibiotik hanya digunakan untuk infeksi," ujar Prof Dr Kuntaman SpMK, ahli mikrobiologi RSU dr Soetomo. Misalnya, infeksi saluran kemih, sinusitis berat, atau radang tenggorokan karena infeksi kuman streptokokus (salah satu jenis bakteri).

Kuntaman menjelaskan, bahan antibiotik pertama ditemukan Alexander Fleming pada 1928. Kemudian, pada 1940-an antibiotik mulai digunakan secara luas. Waktu itu, ahli scientist dunia memprediksi, dengan ditemukannya antibiotik, pada 1960-an dunia diprediksi bersih dari penyakit infeksi.

Namun, bukannya penyakit infeksi teratasi, justru jenis bakteri baru muncul akibat resistensi terhadap penggunaan antibiotik. Bahkan, pada 1990, kata Kuntaman, di beberapa belahan dunia pernah terjadi post antibiotika era. Suatu keadaan yang antibiotik tidak berfungsi lagi. "Waktu itu, di antara 20 jenis antibiotik yang ada, hanya satu yang bisa mengobati penyakit infeksi,"jelasnya.

Pada 2001, World Health Organization (WHO) menyampaikan keprihatinan yang tinggi terhadap perkembangan bakteri resisten. WHO pun menyatakan global alert atau perang melawan bakteri resisten.

Kuntaman juga mengungkapkan, penelitian di dua rumah sakit besar di Jawa Timur dan Jawa Tengah pada 2001 menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik secara tidak bijak mencapai 80 persen. Kasus di RSU dr Soetomo, lanjut Kuntaman, angka resisten terhadap antibiotik lini pertama (penyakit infeksi ringan) bisa mencapai 90 persen dan lini kedua (infeksi sedang) mendekati 50 persen. Dalam disertasinya yang dirilis beberapa waktu lalu, Kuntaman juga menyebutkan, angka bakteri penghasil extended spectrum beta lactamase (ESBL, jenis bakteri yang sulit diobati) mencapai 29 hingga 36 persen. "Bandingkan dengan Belanda yang angkanya kurang dari satu persen," sebut pria yang bekerja di laboratorium mikrobiologi RSU dr Soetomo itu.

Karena itu, bila antibiotik tidak digunakan secara tepat, post antibiotika era diprediksi bisa terjadi pada masa depan. "Bayangkan saja, bila tidak ada satu pun obat yang mampu mengatasi penyakit infeksi," ujarnya.

Menurut Kuntaman, tingginya penggunaan antibiotik di rumah sakit akan meningkatkan angka resistensi bakteri di tempat itu. "Yang pada akhirnya menyulitkan terapi," tegasnya. Bahkan, bakteri lebih mudah mutasi, yang berarti lebih cepat resisten terhadap berbagai antibiotik.

Prof dr R Bambang Wirjatmadi MS MCN PhD SpGK, pengajar gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair, menjelaskan, antibiotik adalah obat yang dapat digunakan untuk membunuh kuman, virus, cacing, protozoa, dan jamur. "Biasanya, jika mengalami sakit dan disebabkan beberapa hal tersebut, obatnya antibiotik," ujar Bambang.

Tidak hanya itu. Antibiotik dibutuhkan saat seseorang sakit disertai demam. Jika sakitnya tidak disertai demam, belum tentu mereka membutuhkan antibiotik.

Agar tidak sembarangan dalam penggunaannya, sebaiknya masyarakat mengetahui jenis antibiotik. Di antaranya, tetracyclin yang digunakan untuk infeksi, sakit gigi, dan luka. Jenis chloramphenicol digunakan untuk penyakit tifus. Jenis griseofulfin digunakan untuk membunuh jamur serta combantrin untuk membunuh cacing.

Ada juga narrow spectrum,yang berguna untuk membunuh jenis bakteri secara spesifik. Antibiotik yang tergolong narrow spectrum adalah ampicillin dan amoxycilin. Jenis kedua ialah broad spectrum untuk membunuh semua jenis bakteri di dalam tubuh. "Dianjurkan untuk menghindari mengonsumsi antibiotik jenis ini," jelasnya.

Sebab, jenis antibiotik itu juga membunuh bakteri lainnya yang sangat berguna untuk tubuh. Antibiotik yang termasuk kategori itu adalah cephalosporin. Penyakit yang disebabkan virus tidak dapat diberikan antibiotik. Misalnya, sakit flu atau pilek. Sebab, antibiotik tidak dapat membunuh virus karena virus dapat mati sendiri, asal daya tahan tubuh penderita meningkat atau membaik. Meski begitu, dalam perkembangannya, saat ini ada antibiotik yang dikembangkan untuk membunuh virus.

Menurut Bambang, penggunaan antibiotik tidak pada tempatnya dan berlebihan dapat membahayakan kesehatan. Misalnya, mengakibatkan gangguan saluran pencernaan (diare, mual, muntah). "Efek samping ini sering terjadi," ujar alumnus FK Unair itu.

Selain itu, penderita bisa mengalami reaksi alergi. Mulai yang ringan seperti ruam dan gatal hingga berat seperti pembengkakan bibir, kelopak mata, sampai gangguan napas. "Karena itu, apabila memiliki alergi, sebaiknya hati-hati dalam penggunaan penycillin. Sebab, bisa jadi dia juga alergi dengan antibiotik tersebut," ujar pria asal Wonogiri, Jawa Tengah, itu.

Efek yang terjadi bisa ringan hingga berat. Pasien bisa mengalami anaphylatic shock atau shock karena penggunaan antibiotik tersebut. Lebih berbahaya lagi, obat itu juga bisa mengakibatkan kelainan hati. Seperti diketahui, antibiotik memiliki bahan dasar kimia. Selain berfungsi membunuh kuman, bahan kimia tersebut harus dinetralkan tubuh supaya aman. Caranya adalah dengan memecah bahan kimia itu.

Nah, hati atau lever bertugas memecah bahan kimia tersebut. Namun, bila diforsir terus-menerus, hati bisa rusak.

Pemakaian antibiotik yang berlebihan (irrational) juga dapat menimbulkan efek negatif yang lebih luas (long term). Irrational use, lanjut Bambang, dapat membunuh kuman yang sebenarnya baik dan berguna di dalam tubuh. Akibatnya, tempat yang semula ditempati bakteri baik akan diisi bakteri jahat.

Kemudian, pemberian antibiotik yang berlebihan akan mengakibatkan bakteri-bakteri yang tidak terbunuh mengalami mutasi dan menjadi kuman yang resisten terhadap antibiotik. Kejadian itu biasa disebut superbugs. "Jenis bakteri yang awalnya dapat diobati dengan mudah oleh antibiotik ringan, apabila antibiotiknya digunakan secara irrational, jadi memerlukan antibiotik yang lebih kuat," jelasnya.

Karena itu, saran Bambang, masyarakat harus paham soal antibiotik. Selain itu, sebelum mengonsumsi, harus tahu aturannya. Baik waktu pemakaian maupun dosis. Dengan demikian, pemakaian bisa dilakukan secara tepat dan rasional.

Menurut dia, hal itu harus mendapat perhatian dari kalangan medis. "Termasuk, upaya pemerintah dalam melakukan pengawasan di lapangan supaya antibiotik tidak beredar secara bebas," ujarnya.

Pemakaian antibiotik yang tidak benar kerap dipicu dengan dijualnya obat tersebut secara bebas di pasar. "Inilah yang mesti dikendalikan pemerintah," tegasnya (JAWA POS 14 Feb 2007)


sumber : FK Umy 

Artikel Lainnya :